Fenomena Salah Makna |
Red. Moh Afif Sholeh, M.Ag
Pengasuh Pesantren Miftahussa'adah Kudus
Syahadat.id - Sadar atau tidak, kita saat ini masuk ke era multi-interpretasi dimensi tekstual dan kontekstual. Di era ini akan sangat mudah orang salah makna, salah alamat, salah pendapat, salah penafsiran dan salah-salah yang lain.
Karena semakin lama dunia ini semakin kompleks dan variatif dari berbagai dimensi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Re-interpretasi pun menjadi tuntutan. Tapi hati-hati dengan langkah yang salah.
Mudahnya begini, kita dengan mudah akan menemukan produk penafsiran terhadap sesuatu yang hampir mendekati qath'i dibuyarkan dibuat dhanni.
Baca juga:
Sebaliknya orang dulu yang mauquf untuk menafsirkan sesuatu karena takut salah, sehingga mereka mengembalikan kepada penafsir masing-masing, kemudian hari ini dipatenkan seolah-olah tafsir saya yang paling benar.
Ono udan salah mongso",
Mungkin semua ini karena salah memilih "pisau" analisa.
Seperti ibarat mencukur rambut dengan senso atau memotong kayu dengan silat. Pemilihan metode yang tidak tepat melahirkan produk yang salah. Hal ini ditambah dengan SDM yang tidak kompeten. Ambyar kabeh.
Masalah lain adalah "kepentingan" dalam memahami teks dan konteks. Bisa jadi, seseorang perokok berat akan memfatwakan rokok adalah mubah, sunnah bahkan wajib. Sebaliknya, orang yang anti rokok akan mengatakan rokoh makruh bahkan haram, tanpa sedikitpun menyebut mubah.
Apakah salah dengan re-interpretasi?
Saya jawab tidak salah, jika sesuai dengan metode dan teknik analisa yang benar. Lihatlah urutannya tesis - antitesis - sintesis.
Lalu bentuklah dengan pola logico-hypotetico-verifikatif.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Jangan bicara kalau tidak ahlinya. Jangan berpendapat kalau tak cukup ilmu. Jangan paksakan yang bukan maknanya. Bicaralah wahai orang yang punya ilmu. Diam anda adalah bencana bagi kami.