Syahadat.id - Al-Qur’an kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai wahyu terakhir yang diturunkan ke muka bumi ini. Alasannya beliau merupakan Nabi dan Rasul terakhir yang bertugas melanjutkan misi para Nabi terdahulu untuk mengesakan Tuhan atau mentauhidkan-Nya serta menyempurnakan ajaran para Nabi sebelumnya.
Al-Qur’an kitab suci yang menggunakan bahasa arab, dibutuhkan pemahaman dalam segi gramatikal, arti, Tafsir dan ilmu yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh seorang Mufassir sebelum ia memahaminya. Hal ini bertujuan agar pemahamannya sesuai dengan kaidah dalam penafsiran al-Qur’an.
Dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, ada tiga kategori manusia. Hal ini sesuai dalam Surat Fathir: 32 yang berbunyi:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32
Artinya:“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.”
Baca juga:
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini sebagai bukti bahwa orang yang menekuni al-Qur’an serta membenarkan isi al-Qur’an yaitu orang yang dipilih oleh Allah. Mereka terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
Pertama, orang yang mendzalimi diri sendiri yaitu orang yang terlalu berlebihan dalam mengerjakan kewajiban serta masih mengerjakan hal terlarang.
Kedua, Orang yang masuk kategori pertengahan. Maksudnya adalah orang yang mengerjakan kewajiban serta menghindari larangan, tetapi masih meninggalkan hal-hal yang disunnahkan atau mengerjakan hal yang dimakruhkan.
Ketiga, orang yang selalu bersegera menjalankan kewajiban maupun hal yang sunnah serta menjauhi hal yang diharamkan ataupun yang makruh dilakukan.
Sedangkan menurut Imam Farkhruddin ar-Razi dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa ada banyak pendapat yang menjelaskan tentang tiga kategori orang yang ahli al-Qur’an, diantaranya:
أحدها : الظالم هو الراجح السيئات والمقتصد هو الذي تساوت سيئاته وحسناته والسابق هو الذي ترجحت حسناته
Pertama, Orang yang dzalim adalah orang yang lebih unggul kejelekannya. Sedangkan yang pertengahan adalah orang yang sama kebaikan dan keburukannya. Dan orang pemenang atau tercepat adalah orang yang unggul dalam kebaikannya.
ثانيها : الظالم هو الذي ظاهره خير من باطنه ، والمقتصد من تساوى ظاهره وباطنه ، والسابق من باطنه خير
Kedua, Orang yang dzalim adalah orang yang lahirnya lebih baik daripada batinnya. Sedangkan yang pertengahan adalah orang yang sama lahir dan batinnya. Dan orang pemenang atau tercepat adalah orang yang batinnya lebih baik dari lahirnya.
والمختار هو أن الظالم من خالف فترك أوامر الله وارتكب مناهيه فإنه واضع للشيء في غير موضعه، والمقتصد هو المجتهد في ترك المخالفة وإن لم يوفق لذلك وندر منه ذنب وصدر عنه إثم فإنه اقتصد واجتهد وقصد الحق والسابق هو الذي لم يخالف بتوفيق الله ويدل عليه قوله تعالى : { بِإِذْنِ الله } أي اجتهد ووفق لما اجتهد فيه وفيما اجتهد
Ketiga, Pendapat yang dipilih imam ar-Razi menjelaskan yaitu orang yang dzalim adalah orang tak sesuai dengan tuntunan, ia meninggalkan kewajiban serta melakukan hal yang terlarang. Dan disebut dzalim karena ia tak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan yang pertengahan adalah orang yang berusaha untuk tidak mengikuti kehendak nafsu yang selalu menjadi penyebab sumber dosa dengan berusaha semaksimal mungkin dan dengan tujuan yang baik. Adapun orang yang terbaik adalah orang yang tak mengingkari pertolongannya, ia bersungguh-sungguh serta berusaha menyesuaikan dengan ajaran.
Dari penjelasan ini, manusia dilarang keras mengaku paling pintar, alim, paling mengerti isi al-Qur’an tapi prilakunya tak mencerminkan isi dari al-Qur’an itu sendiri. Maka dari itu manusia harus berusaha untuk selalu belajar, memahami isinnya, serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercermin akhlak Qur’ani dalam dirinya.
Moh Afif Sholeh, M.Ag